Menjelang pemilihan parlemen Uni Eropa pada Juni 2025, gelombang kekuatan politik kanan ekstrem kian menguat di berbagai negara, termasuk Prancis, Jerman, dan Belanda. Isu imigrasi, krisis biaya hidup, dan ketidakpuasan terhadap birokrasi Brussel menjadi amunisi utama kelompok populis untuk merebut suara pemilih. Partai-partai seperti Rassemblement National (Prancis) dan Alternative für Deutschland (AfD) mulai memimpin survei, menandai perubahan arah politik Eropa yang berpotensi mengguncang stabilitas kebijakan kolektif Uni Eropa.
Kebangkitan politik kanan ini dipicu oleh keresahan masyarakat terhadap kebijakan hijau yang dianggap memberatkan, serta ketidakmampuan pemerintah pusat dalam menangani gelombang pengungsi dan dampak perang Ukraina. Kekhawatiran terhadap “kehilangan identitas nasional” semakin banyak dimanfaatkan untuk menciptakan narasi ketakutan yang menyasar kelompok minoritas dan imigran. Meski begitu, banyak analis mengingatkan bahwa tren ini dapat membuka jalan bagi fragmentasi politik di dalam Uni Eropa.
Pemerintahan-pemerintahan moderat tengah berjuang mempertahankan dominasi mereka, sementara Brussels mencoba menyeimbangkan idealisme Eropa bersatu dengan tekanan populis dari dalam. Jika kekuatan kanan menang besar, kebijakan seperti bantuan Ukraina, perubahan iklim, hingga ekspansi Uni Eropa bisa melambat atau bahkan dibatalkan. Ini akan mengubah wajah Eropa secara dramatis dalam lima tahun ke depan.
Harapan: Semoga masyarakat Eropa tetap kritis dan rasional dalam memilih, serta mampu menahan gelombang politik yang hanya berlandaskan rasa takut dan kebencian. Dunia, termasuk Indonesia, berharap Eropa tetap menjadi mitra demokratis yang menjunjung kemanusiaan dan solidaritas global.