Jakarta, Mei 2025 — Pemerintah melalui Kementerian BUMN telah membentuk Danantara (PT Danantara Indonesia) sebagai sovereign wealth fund domestik yang menghimpun aset-aset BUMN tidak produktif. Narasi resmi menyebut ini sebagai “langkah strategis untuk optimalisasi nilai aset negara.” Tapi, benarkah Danantara adalah solusi? Atau hanya manuver kosmetik untuk menutupi keroposnya fondasi BUMN selama satu dekade terakhir?
Apa Itu Danantara?
Danantara didirikan sebagai perusahaan induk untuk menampung aset negara non-performing dari BUMN yang selama ini membebani neraca. Targetnya adalah “mengoptimalkan nilai,” “menarik investor,” dan “mengurangi beban fiskal negara.”
Namun, hingga kini tidak jelas bagaimana valuasi aset dilakukan, siapa yang menilai, dan apakah ada transparansi publik dalam proses penetapan nilai wajar.
Tanda Tanya Besar: Benarkah Ini Optimalisasi?
1. Valuasi Aset: Realistis atau Inflatif?
Sejumlah analis mencurigai bahwa aset-aset yang dikumpulkan Danantara dinilai terlalu optimistis. Tanah milik BUMN yang macet, gedung-gedung tak terpakai, atau pabrik usang diletakkan dalam neraca dengan nilai tinggi tanpa kejelasan prospek monetisasinya.
2. Tidak Disertai Restrukturisasi Nyata
Alih-alih melakukan pembenahan mendasar terhadap manajemen dan struktur korporasi BUMN yang bermasalah, Danantara lebih menyerupai “bank sampah” tempat semua problem warisan didepositkan, agar neraca BUMN tampak bersih.
3. Ancaman Moral Hazard
Dengan Danantara menyerap beban, BUMN-BUMN lain justru bisa terdorong melakukan ekspansi tidak hati-hati, karena tahu “akan diselamatkan pada akhirnya.”
4. Transparansi & Akuntabilitas Minim
Hingga kini, tidak ada publikasi terbuka dan sistematis tentang aset apa saja yang sudah dimasukkan ke Danantara, valuasinya, dan bagaimana rencana monetisasinya. Ini membuka ruang gelap untuk manipulasi.
Danantara: Simptom atau Solusi?
Kehadiran Danantara mencerminkan gejala, bukan solusi. Dalam sistem yang sehat, BUMN melakukan transformasi kinerja melalui tata kelola, bukan lewat “parkir aset.”
Justru ada kekhawatiran bahwa ini adalah strategi jangka pendek pemerintahan Jokowi untuk mensterilkan laporan keuangan dan menghindari opini negatif fiskal menjelang akhir masa jabatan.
Kesimpulan: Menunggu Audit Independen
Tanpa audit independen dan laporan kinerja kuartalan yang terbuka ke publik, sulit menilai apakah Danantara benar-benar menyelamatkan ekonomi negara atau sekadar menyapu debu di bawah karpet.
Pertanyaan utamanya bukan soal aset dikumpulkan atau tidak, tapi: Apakah nilai dan prospek aset itu nyata, likuid, dan produktif?
Jika tidak, Danantara bisa jadi hanya topeng megah untuk menutupi bangkai kegagalan manajemen ekonomi era Jokowi.