Dua hari berturut-turut di awal Mei ini menghadirkan momen reflektif yang jarang terjadi: Hari Buruh Internasional (1 Mei) dan Hari Pendidikan Nasional (2 Mei). Keduanya bukan sekadar tanggal merah di kalender, tetapi seruan terbuka untuk mengingat kembali akar-akar bangsa — para pekerja dan para pendidik.
Di jalanan kota besar seperti Jakarta, Surabaya, hingga Medan, ribuan buruh berkumpul. Mereka bukan hanya menuntut upah yang layak, tetapi juga mempertanyakan sistem ketenagakerjaan yang kian menjauhkan mereka dari rasa aman. Isu outsourcing, pemutusan hubungan kerja sepihak, dan jaminan sosial yang tak merata kembali menggema. Suara-suara itu bukan keluhan — melainkan peringatan: bahwa fondasi ekonomi tak bisa berdiri tegak jika para pekerja diperlakukan hanya sebagai angka produksi.
Sehari setelahnya, ruang-ruang kelas — baik nyata maupun daring — menjadi sorotan. Hari Pendidikan Nasional tahun ini mengusung tema “Pendidikan untuk Peradaban yang Berkeadilan.” Namun di balik slogan itu, masih tersimpan pertanyaan besar: apakah pendidikan kita sudah membebaskan? Atau justru masih membelenggu anak-anak bangsa dalam kurikulum yang membosankan dan sistem yang tidak merata?
Ketika buruh menuntut keadilan dan guru berjuang dalam sunyi, bangsa ini seolah berkaca pada dirinya sendiri. Bahwa untuk menjadi maju, tak cukup dengan pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur megah. Keadilan sosial, penghargaan terhadap tenaga kerja, dan akses pendidikan berkualitas adalah fondasi sejati.
Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional bukanlah dua agenda terpisah. Keduanya adalah simpul dari perjuangan panjang untuk martabat manusia Indonesia. Karena tanpa pekerja yang sejahtera dan pendidik yang dimuliakan, cita-cita kemerdekaan hanya akan menjadi paragraf di buku sejarah.