Jakarta, 2 Mei 2025 — Pakar forensik digital Dr. Rismon Hasiholan Sianipar kembali mengguncang jagat politik nasional dengan temuannya yang ia klaim sebagai “bukti forensik tak terbantahkan” bahwa skripsi Joko Widodo sebagai syarat kelulusan sarjana tahun 1985 tidak otentik. Sorotan utama Dr. Rismon terfokus pada satu hal teknis tapi sangat menentukan: penggunaan font Times New Roman pada lembar pengesahan skripsi.
Dalam video analisis yang diunggah oleh kanal Balige Academy, Dr. Rismon menyampaikan:
“Saya katakan dengan penuh tanggung jawab: lembar pengesahan skripsi Jokowi menggunakan font Times New Roman yang baru tersedia secara luas setelah era Windows 3.1 dirilis sekitar tahun 1992. Ini bukti bahwa dokumen itu dibuat jauh setelah tahun yang seharusnya—1985.”
Analisis Forensik Tipografi: Bukti Tak Terbantahkan?
Dr. Rismon menjelaskan bahwa Times New Roman bukan sekadar jenis huruf biasa, tetapi memiliki sejarah spesifik dalam dunia digital:
-
Tahun 1985, sistem komputerisasi di Indonesia belum meluas, terlebih di lingkungan kampus.
-
Font Times New Roman baru secara resmi didistribusikan dalam perangkat lunak Microsoft Word versi 2.0 (1991–1992), dan sebelumnya hanya digunakan secara terbatas di mesin linotype untuk surat kabar cetak Inggris.
-
Oleh karena itu, penggunaannya di dokumen akademik UGM tahun 1985 sangat mustahil secara teknis dan historis.
“Jika skripsi itu asli dari tahun 1985, maka secara forensik, font yang digunakan harus hasil ketikan mesin tik atau minimal Courier New, bukan Times New Roman yang memiliki lekukan digital halus dan proporsional spacing,” tegasnya.
Lembaran Pengesahan: Kunci Investigasi
Lembaran pengesahan skripsi yang biasanya ditandatangani oleh dosen pembimbing dan ketua jurusan menjadi titik krusial. Dalam dokumen Jokowi, menurut Rismon, teks pada bagian tersebut seragam menggunakan font Times New Roman dan dicetak rapi seperti hasil word processor modern.
“Kami sudah bandingkan dengan skripsi-skripsi asli dari alumni UGM tahun yang sama. Semuanya diketik manual dengan mesin tik, fontnya kaku dan sejajar, berbeda total dengan dokumen Jokowi yang tampil seperti hasil print-out modern,” ujarnya sambil memperlihatkan hasil digital overlay comparison.
Nomor Seri Ijazah Tanpa Klaster: Kejanggalan Lain
Tak hanya skripsi, Dr. Rismon juga menyorot nomor seri ijazah Jokowi yang tidak sesuai dengan format klaster UGM pada tahun-tahun tersebut. Menurutnya, ijazah yang asli di masa itu memiliki kode regional dan tahun yang bisa diverifikasi. Sementara pada ijazah Jokowi, nomor tersebut berupa deretan angka biasa tanpa kode fakultas atau klaster angkatan.
“Ini jelas anomali administratif. Universitas negeri sekelas UGM tidak mungkin sembarangan dalam mengeluarkan ijazah sarjana.”
Kesimpulan: Tidak Sekadar Dugaan
Dalam akhir penjelasannya, Dr. Rismon mengatakan bahwa kesimpulannya bukan sekadar opini, melainkan hasil rekonstruksi ilmiah berbasis metode forensik digital dan tipografi sejarah.
“Saya ulangi: ini bukan pernyataan politis. Ini hasil penelitian ilmiah, forensik, dan teknologi. Jika perlu, saya siap mempertanggungjawabkan di forum akademik maupun hukum. Bagi saya, ini adalah soal kebenaran publik.”
Reaksi dan Klarifikasi UGM
Menanggapi hal ini, pihak UGM melalui Dekan Fakultas Kehutanan, Prof. Sigit Sunarta, memberikan klarifikasi bahwa penggunaan font Times New Roman bisa saja terjadi karena pencetakan dilakukan di percetakan umum sekitar kampus, bukan oleh mahasiswa sendiri. Namun, Dr. Rismon menanggapi balik:
“Kalau memang dicetak belakangan, maka tahun pembuatannya bukan tahun 1985. Ini masalah autentisitas waktu, bukan sekadar siapa yang mencetak.”
Berita ini semakin menguatkan tuntutan sebagian masyarakat agar keaslian ijazah Presiden Jokowi diaudit secara terbuka dan ilmiah oleh tim independen. Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Istana terkait penjelasan teknis Dr. Rismon ini.