Purwakarta — Alih-alih menyerahkan para remaja bermasalah ke jeruji besi, mantan Bupati Purwakarta yang kini dikenal luas sebagai tokoh masyarakat, Kang Dedi Mulyadi, memilih pendekatan yang tak biasa: mengirim mereka ke barak militer.
Di tengah maraknya kasus kenakalan remaja, mulai dari tawuran, balap liar, hingga perundungan ekstrem, Dedi memilih jalan yang berbeda. “Bukan dengan memenjarakan, tapi dengan mendidik,” ujarnya saat ditemui di salah satu markas TNI tempat program pembinaan itu berlangsung.
Program ini bukan sekadar hukuman. Remaja-remaja yang terjerat masalah hukum ringan akan dibina selama beberapa waktu dalam lingkungan barak TNI. Mereka diajak bangun pagi, mengikuti apel, baris-berbaris, hingga latihan fisik dan kegiatan reflektif. Di sinilah, menurut Kang Dedi, kelas kehidupan itu dimulai.
Disiplin sebagai Terapi Sosial
Lingkungan militer dikenal ketat, terstruktur, dan penuh kedisiplinan. Dalam pandangan Dedi, justru inilah yang dibutuhkan banyak anak muda saat ini—terutama yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak utuh, tekanan ekonomi, dan minim pendidikan karakter.
“Anak-anak itu bukan jahat, mereka hanya kurang arah. Di barak, mereka belajar tanggung jawab, mengenal batas, dan yang paling penting: mendengar suara hati mereka sendiri,” tambah Dedi.
Dalam praktiknya, program ini melibatkan personel TNI yang bertindak sebagai pembina, bukan algojo. Selain pelatihan fisik, mereka juga mendapat sesi pembinaan karakter, membaca kitab-kitab filsafat sederhana, hingga bimbingan spiritual.
Kontroversi dan Tantangan
Meski menuai banyak pujian di media sosial dan masyarakat lokal, langkah ini tidak lepas dari kritik. Sejumlah pemerhati anak mempertanyakan dasar hukum program ini. “Apakah ini bentuk pembinaan atau bentuk baru dari militerisasi sosial?” kata seorang aktivis LSM di bidang perlindungan anak.
Pertanyaan lain yang muncul adalah: seberapa efektif metode ini dalam jangka panjang? Tanpa pendampingan psikologis dan pendidikan berkelanjutan, bukan tidak mungkin anak-anak ini hanya takut, bukan benar-benar berubah.
Namun Dedi menegaskan bahwa pendekatan ini bukan solusi tunggal, melainkan bagian dari gerakan moral yang lebih luas. “Yang kita lakukan adalah menanam bibit kesadaran. Sisanya, kita serahkan pada proses dan pendampingan lanjutan dari keluarga dan lingkungan.”
Membuka Cakrawala Baru
Barak yang biasanya jadi tempat latihan militer, kini menjadi tempat pembelajaran sosial. Di situlah, disiplin bukan lagi alat represi, melainkan jembatan menuju pemulihan moral.
Terobosan ini bukan tanpa risiko, tapi di tengah kebuntuan sistem hukum dan pendidikan kita dalam menangani anak-anak bermasalah, langkah berani seperti inilah yang bisa membuka cakrawala baru.
Seperti kata Kang Dedi, “Mendidik anak itu bukan soal memenjarakan masa lalunya, tapi menyiapkan masa depannya.”