Dari Jalanan Purwakarta ke Layar-Layar HandPhone Rakyat Indonesia
Oleh Tim Narasi Rakyat
“Pak Dedi datang bukan sebagai pejabat, tapi sebagai saudara. Itu yang bikin kami percaya.”
(Ucapan Bu Nurhayati, penjual kue basah di Pasar Luwu, Sulawesi Selatan)
Wajahnya sudah akrab bagi jutaan warga Indonesia, bahkan lebih akrab daripada sebagian besar pejabat daerah mereka sendiri. Berjalan tanpa pengawal, menyapa tanpa skrip, dan bicara tanpa jargon. Di tengah kerinduan masyarakat akan pemimpin yang nyata, Dedi Mulyadi menjelma bukan hanya sebagai tokoh, tapi sebagai fenomena sosial.
Dalam sebuah video yang viral di Medan, Dedi duduk bersama anak-anak jalanan yang kehilangan tempat tinggal karena penggusuran. Di Kendari, ia membantu pedagang kecil yang dagangannya disita Satpol PP. Di Flores, ia membelikan seragam untuk siswa SD yang telah tiga bulan tidak sekolah karena tak punya biaya.
Semua kisah itu direkam sederhana — tanpa lampu studio atau mikrofon mahal — tapi menyentuh, dan lebih penting: jujur.
Sosok Populis Baru, Tapi Bukan Gimmick
Tak seperti politisi kebanyakan yang hanya muncul menjelang pemilu, Dedi membangun jembatan emosi yang konsisten. Tidak sekadar membagikan sembako, tapi hadir di tengah konflik masyarakat — dari penggusuran lahan, pendidikan terabaikan, hingga hilangnya identitas budaya lokal.
“Saya percaya, orang kecil itu punya cerita besar. Dan tugas saya adalah mendengarnya, lalu membawanya ke panggung publik,” ujar Dedi dalam satu dialognya dengan komunitas budaya di Banyumas.
Ia bicara tentang desa, tentang ibu, tentang air, tentang tanah. Ia bicara dalam bahasa rakyat — bukan dengan grafis polling atau retorika tiga paragraf.
Dari Jawa Barat ke Seluruh Indonesia
Awalnya dianggap hanya “jago kandang” dari Purwakarta, kini nama Dedi Mulyadi disebut-sebut di lintas provinsi:
-
Di Sumatera Barat, ia diundang dalam diskusi budaya Minang.
-
Di Kalimantan Selatan, komunitas Dayak menyematkan kain adat kepadanya sebagai bentuk penghormatan.
-
Di NTB, para nelayan menyebutnya sebagai “satu dari kami”.
Fenomena ini diperkuat dengan terbentuknya simpul relawan akar rumput — bukan hasil mobilisasi partai, melainkan hasil organik dari keterhubungan emosional. Grup WhatsApp dan Telegram relawan Dedi kini aktif di lebih dari 60 kabupaten/kota, menyusun kegiatan sosial, diskusi rakyat, bahkan teater rakyat dengan tokoh sentral: Dedi Mulyadi.
Politik Tanpa Panggung, Tapi Menyala
Meski tidak menyatakan diri sebagai capres atau cawapres, manuver politik Dedi tidak bisa diremehkan. Ia merangkul rakyat lebih dulu sebelum bicara partai. Ia membentuk persepsi sebelum membentuk koalisi.
Beberapa elite menilai Dedi terlalu lambat membangun kendaraan politik. Tapi mereka lupa: kekuatan Dedi ada pada narasi, bukan struktur. Ia tidak membangun menara kekuasaan, tapi jaringan hati rakyat.
Di tengah kegaduhan politik nasional yang dipenuhi manuver elit, merger partai, dan politik dinasti, Dedi Mulyadi melangkah pelan — tapi dalam. Ia menyusup melalui narasi-narasi kecil yang tumbuh di warung, masjid, sawah, dan terminal.
Narasi Baru yang Mungkin Terlambat — atau Justru Tepat Waktu
Di ujung 2024 dan menjelang 2029, politik Indonesia memasuki fase kejenuhan. Rakyat muak pada janji, lelah dengan baliho, dan curiga pada semua yang mengaku “pro-rakyat”. Dalam konteks itu, kemunculan Dedi terasa sebagai angin segar — atau minimal, tawaran berbeda.
Ia bukan tokoh sempurna. Tapi justru karena itu, ia dekat. Ia manusiawi. Ia punya luka, punya masa lalu, dan punya tekad untuk memperbaiki yang rusak — mulai dari bawah.
Penutup: Bukan Tentang Dedi
Akhirnya, fenomena ini bukan semata tentang Dedi Mulyadi. Tapi tentang kita semua — yang mulai menyadari bahwa pemimpin tak harus tinggi pangkatnya, tapi tinggi nuraninya.
Maka jika suatu hari nanti, Anda mendengar tepuk tangan kecil di desa terpencil karena seseorang membetulkan atap rumah seorang nenek — bisa jadi itu bukan Dedi Mulyadi, tapi seseorang yang terinspirasi olehnya. Yang pasti karena ada dukungan niat baik yang kuat untuk mengabdi kepada rakyat dari pucuk pimpinan tertinggi di Republik ini, maka semua dapat berjalan dengan mulus. Dan dari situlah perubahan dimulai.