Pemeriksaan aparat desa oleh Kejaksaan membuka tabir lama: anggaran desa kerap jadi bancakan berlapis, dari kepala desa hingga oknum kejaksaan. Apakah ini awal dari reformasi atau hanya drama penegakan yang berulang?
Mandailing Natal, 5 Mei 2025 — Pemeriksaan terhadap lima kepala desa, satu kepala puskesmas, dan tiga pejabat Dinas PUPR Kabupaten Madina oleh Kejaksaan Tinggi Sumut bukanlah kejutan bagi warga yang telah lama curiga. Di balik pembangunan desa yang lambat, selalu tersimpan cerita tentang “setoran”, “fee proyek”, dan “jatah atas”.
Dalam praktik yang lazim, kepala desa yang baru dilantik biasanya sudah “dibisiki” untuk mengikuti pola lama: setiap pencairan Dana Desa harus disisihkan untuk:
Setoran ke oknum pejabat kabupaten: sering dalam bentuk ‘uang administrasi’ atau ‘biaya pengamanan’.
Bagi hasil ke lembaga pengawas: termasuk oknum di inspektorat, BPKP daerah, hingga jaksa pengawas proyek.
Rekanan titipan proyek: pembangunan fisik desa seperti jalan, jembatan, atau irigasi kerap “diarahkan” kepada kontraktor titipan. Kades hanya tinggal menandatangani.
“JANGAN MACAM-MACAM, NANTI DITEGUR ATAS”
Seorang mantan kepala desa di Madina yang enggan disebutkan namanya mengaku pernah menolak rekanan yang ditunjuk Dinas PUPR. Akibatnya? Anggaran tahap berikutnya tak cair-cair, dan ia dipanggil oleh inspektorat dengan tuduhan fiktif. “Kalau kami tak ikut sistem, kami disingkirkan. Bahkan dilaporkan balik.”
KEJAKSAAN: PENEGAK HUKUM ATAU PEMAIN?
Ironisnya, dalam banyak kasus, pengawasan oleh kejaksaan sering justru menjadi alat tekanan. Kades yang patuh pada “arahan tidak resmi” akan aman. Tapi yang menolak setoran bisa tiba-tiba diperiksa. Publik menyebut ini sebagai praktik “jaksa jatah proyek”.
“Penegakan hukum seperti ini tak akan menyelesaikan korupsi desa. Yang diperiksa cuma ujungnya, sementara aktor intelektualnya tetap aman di balik meja kekuasaan,” ujar Ahmad Tua, aktivis pemantau dana desa di Sumut.
DESA HARUS MERDEKA DARI KEKUASAAN KABUPATEN
Korupsi dana desa bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi perampasan masa depan desa. Uang yang semestinya digunakan untuk membangun jembatan, embung, atau pelatihan pemuda malah habis di meja birokrasi dan penguasa lokal.
Solusinya tidak cukup hanya memeriksa kepala desa. Harus ada:
Audit menyeluruh terhadap hubungan keuangan antara desa dan OPD kabupaten.
Mekanisme partisipatif warga desa dalam pengawasan.
Perlindungan hukum bagi kades yang melawan sistem korup.
Selama desa masih dijadikan ladang setoran oleh para pejabat kabupaten dan alat transaksi politik, maka Dana Desa akan terus menjadi proyek korupsi berjamaah. Pemeriksaan di Madina adalah momentum—jika benar-benar menyasar ke atas. Jika tidak, ini hanya akan menjadi satu episode dari serial panjang hipokrisi hukum daerah.