Presiden terpilih Prabowo Subianto menetapkan target ambisius untuk meningkatkan rasio penerimaan pajak (tax ratio) Indonesia menjadi 15 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2029. Langkah ini diambil sebagai bagian dari strategi memperkuat pendapatan negara dalam mendukung pembangunan nasional.
Untuk mewujudkan target tersebut, pemerintah akan melantik Bimo Wijayanto sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak yang baru. Bimo diharapkan mampu mendorong reformasi besar di sektor perpajakan, terutama dalam digitalisasi sistem, pengawasan, serta perluasan basis pajak.
“Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) akan menjadi salah satu pilar penting. Lembaga ini akan mengintegrasikan seluruh penerimaan negara, mulai dari pajak, bea cukai, hingga royalti,” ujar seorang pejabat Kementerian Keuangan, Kamis (23/5).
Selain membentuk BPN, pemerintah juga akan memperkuat implementasi sistem administrasi perpajakan berbasis digital (core tax system) untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi. Langkah lainnya termasuk ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dengan menjangkau sektor-sektor informal dan ekonomi digital.
Pemerintah juga telah menetapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang mewah menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, sementara tarif umum tetap di 11 persen.
Meski demikian, sejumlah pengamat mengingatkan bahwa target tersebut akan menghadapi tantangan besar, seperti resistensi birokrasi, perlunya revisi regulasi, serta ketidakpastian ekonomi global.
“Target 15 persen tax ratio adalah langkah ambisius, namun dengan komitmen politik yang kuat dan sistem pendukung yang memadai, hal itu bisa dicapai,” kata Ahmad Fadli, ekonom dari Institute for Fiscal Reform.
Rasio pajak Indonesia saat ini masih berkisar di angka 10 persen, lebih rendah dibanding negara-negara ASEAN lainnya. Dengan strategi reformasi yang terfokus, pemerintahan Prabowo berharap dapat mengejar ketertinggalan tersebut dalam lima tahun ke depan.