Lombok Tengah, NTB — Kasus pernikahan anak di Desa Beraim, Praya Tengah, Lombok Tengah, NTB, menjadi sorotan nasional setelah video pernikahan antara siswa SMP dan siswi SMK viral di media sosial. Peristiwa ini menimbulkan perdebatan sengit antara norma hukum nasional dan adat istiadat setempat yang masih mempraktikkan pernikahan dini.
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) telah melaporkan orang tua kedua mempelai ke polisi. Pernikahan anak di bawah umur dinilai melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU Perkawinan. Sesuai aturan, batas minimal usia menikah adalah 19 tahun bagi pria dan wanita. Orang tua yang menikahkan anak di bawah umur tanpa dispensasi pengadilan dapat dikenai sanksi pidana hingga 10 tahun penjara dan/atau denda Rp 200 juta.
Kasi Penkum Kejati NTB, Andi Suryadi, menjelaskan bahwa praktik pernikahan dini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga bentuk kekerasan dan eksploitasi terhadap anak. “Kami menegaskan bahwa hukum nasional harus ditegakkan. Anak-anak berhak mendapat perlindungan dan kesempatan untuk mengenyam pendidikan,” tegasnya.
Namun, pernikahan anak masih dianggap sebagai tradisi yang “biasa” oleh sebagian masyarakat setempat. Kepala Dusun setempat, Syarifudin, menyampaikan permohonan maaf dan mengakui bahwa pihaknya kesulitan mencegah praktik tersebut karena tekanan adat dan sosial. “Ini tantangan kami. Kami sedang berupaya menyosialisasikan aturan yang benar agar adat bisa menyesuaikan zaman,” ujarnya.
Pakar budaya lokal menilai bahwa tradisi pernikahan dini di NTB berkaitan erat dengan faktor ekonomi dan kehormatan keluarga. Biasanya, keluarga merasa lebih terhormat jika anaknya segera menikah. Namun, hal ini bertentangan dengan prinsip perlindungan anak dan hak-hak mereka untuk berkembang.
Untuk mencari jalan tengah, pemerintah daerah bersama lembaga adat dan tokoh masyarakat diusulkan untuk membentuk forum musyawarah adat. Tujuannya adalah merumuskan kesepakatan bahwa adat harus sejalan dengan hukum nasional. “Kami harap tokoh adat, agama, dan kepala dusun ikut aktif dalam sosialisasi hukum agar masyarakat bisa paham dan berubah secara perlahan,” kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak NTB.
Langkah lain yang disorot adalah penguatan prosedur dispensasi nikah di Pengadilan Agama. Dispensasi hanya dapat diberikan dalam keadaan mendesak dan harus melewati syarat ketat, termasuk pemeriksaan kesehatan dan kesiapan mental calon mempelai.
Selain itu, berbagai pihak mendorong pelibatan sekolah, pesantren, dan lembaga adat untuk memberikan edukasi kesehatan reproduksi dan hak anak, demi mencegah terulangnya praktik pernikahan dini. “Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga soal masa depan generasi muda kita,” ujar aktivis LPA NTB.
Kasus ini menjadi cermin penting: meski adat dan budaya memiliki tempat dalam masyarakat, hukum nasional harus menjadi acuan utama untuk menjamin perlindungan anak dan masa depan yang lebih baik. Pihak berwenang menegaskan, dialog antara budaya dan hukum harus terus didorong agar tidak terjadi lagi pernikahan anak di kemudian hari.