Jakarta, 31 Mei 2025 – Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan empat kontrak gas senilai miliaran dolar AS antara Indonesia dan Singapura. Langkah kontroversial ini dinilai sebagai upaya merebut kembali kedaulatan energi nasional, meski memicu ketegangan diplomatik dan gejolak pasar.
Keputusan yang diumumkan dalam rapat terbatas kabinet energi itu menyasar kontrak yang diteken sejak 1999, kala Indonesia masih terpuruk akibat krisis moneter. Empat kontrak ini, meliputi ladang gas Natuna, Jabung, Koridor, dan Muara Bakau, dikritik karena mematok harga gas rendah (USD 6/MMBTU) dengan kenaikan terbatas, serta memuat klausul take or pay yang merugikan Indonesia.
Menurut data pemerintah, Indonesia kehilangan potensi pendapatan hingga USD 45 miliar selama 20 tahun. Presiden Prabowo menegaskan, “Kedaulatan energi adalah harga mati. Kita tak bisa terus menjual gas murah sementara rakyat kita hidup dalam gelap.”
Singapura, yang 95% kebutuhan listriknya bergantung pada gas dari Indonesia, merespons keras. Nilai tukar dolar Singapura anjlok 3%, dan indeks sahamnya turun 7,5% sehari setelah pengumuman. Pemerintah Singapura bahkan mengancam membawa sengketa ini ke arbitrase internasional.
Sementara itu, Indonesia justru disambut hangat oleh 87% masyarakatnya, menurut survei nasional. Pasar domestik pun melompat: IHSG melonjak 3,2% dalam sepekan, dan rupiah menguat. Investor global terbelah: BlackRock melihat ini sebagai peluang, sedangkan Moody’s menurunkan outlook kredit Indonesia ke negatif.
Keputusan pembatalan kontrak ini memposisikan Indonesia pada persimpangan historis: antara risiko kehilangan reputasi sebagai mitra energi yang andal, dan peluang membangun kembali kemandirian energi nasional. Pemerintah kini membuka dua opsi: renegosiasi dengan syarat baru yang lebih adil, atau pembatalan total.
Apakah langkah berani ini akan mengantar Indonesia pada era kedaulatan energi sejati, atau justru memicu ketidakpastian jangka panjang? Waktu yang akan menjawab.