Dalam pidato terbukanya, Menteri ESDM memaparkan narasi panjang tentang kedaulatan energi nasional. Ia mengurai bukan hanya data, tetapi juga sense of mission: bahwa kemandirian energi Indonesia bukan slogan, tapi amanah sejarah—sekaligus perang melawan “by design” yang merugikan bangsa sendiri.
Fakta Kunci yang Disorot
✅ Lifting Minyak Jatuh Drastis
Tahun 1997: 1,6 juta barel/hari.
Tahun 2024: hanya 580 ribu barel/hari, sedangkan konsumsi 1,6 juta.
“Ini bukan semata-mata soal teknis, tapi ada ‘by design’,” tegas Pak Menteri—menuding bahwa pelemahan sektor migas disengaja agar Indonesia tergantung pada impor.
✅ Kontrak-eksplorasi Mangkrak
40.000 sumur migas, tapi hanya 2.000 yang aktif.
301 hasil eksplorasi yang belum difinalisasi—disebutnya ada perusahaan besar “26 tahun tidur”, seperti Blok Masela yang dikuasai Inpex.
“Kita sudah kirim surat peringatan. Kalau perlu, kita cabut izinnya,” ancamnya.
✅ Konversi LPG dan Jaringan Gas Rumah Tangga
Ia menyoroti bagaimana subsidi LPG Indonesia membengkak, tapi distribusi tak efisien.
Menolak argumen “bahan baku tak cocok”, dia menekankan: “Ini cara orang-orang yang mau mempertahankan impor, supaya nyaman terus!”
✅ Nasionalisme Sejati Lahir di Daerah
Pak Menteri bercerita bagaimana ia sendiri lahir di desa tanpa listrik, belajar di bawah lampu pelita.
“Energi bukan hanya bisnis—ini adalah hak rakyat!” ujarnya, sambil menekankan pentingnya “keadilan energi” bagi nelayan, petani, dan UMKM.
✅ Hilirisasi sebagai Kunci
Dari nikel hingga batu bara, Indonesia tak lagi mau jadi “pengecer mentah”.
Dengan hilirisasi, ekspor nikel melonjak dari USD 3,3 miliar (2017) menjadi USD 40 miliar (2024).
Target Prabowo: ekosistem hilirisasi rampung 2035 (bukan 2040), nilai investasi USD 618 miliar.
✅ Pipa Diplomasi dan Investasi
Menariknya, Menteri ESDM juga bicara soal pendekatan “adalah fair play”—“Kalian mau bahan baku kita? Baik, tapi kalian juga harus investasi di sini,” katanya, merujuk pada tawaran kerjasama dari Eropa, Jepang, dan China.
Analisis: Visi Jangka Panjang atau Populisme?
Pidato ini sarat data dan retorika berapi-api—tapi juga memuat substansi yang tak bisa diabaikan:
-
🔥 Pengakuan “by design” menantang status quo yang selama ini bersembunyi di balik “teknis industri”.
-
🔥 Pencabutan izin adalah sinyal bahwa Indonesia serius menertibkan manajemen energi—bukan hanya lips service.
-
🔥 Fokus pada rakyat kecil (dari LPG hingga jaringan gas) adalah kunci keberlanjutan: energi bukan cuma bisnis korporasi.
Namun, langkah ini bukan tanpa risiko:
⚠️ Investor global—terutama Eropa dan AS—mungkin makin waspada.
⚠️ Gugatan arbitrase (jika kontrak lama dicabut sepihak) bisa jadi beban keuangan.
⚠️ Ancaman retaliasi ekonomi (lihat Singapura dan Singtel yang kini waspada) bisa berdampak jangka pendek pada pembiayaan energi.
Pidato panjang Pak Menteri bukan sekadar ceramah teknis. Ini adalah deklarasi perang terhadap status quo energi:
➡️ Melawan “kontrak kolonial” yang mengekang potensi Indonesia.
➡️ Menggeser wacana dari “energi untuk elite” menjadi “energi untuk rakyat”.
➡️ Memaksa semua pemangku kepentingan—dari investor asing, pengusaha nasional, hingga birokrat—untuk tunduk pada satu prinsip: energi sebagai tulang punggung masa depan bangsa.
Pertanyaan penting:
Apakah langkah-langkah radikal ini akan membuahkan transformasi nyata—atau justru menambah gejolak di sektor energi yang sudah lama jadi “medan perang diplomasi”?
Yang pasti, kita sedang menyaksikan babak baru: Indonesia yang tak lagi takut menegosiasikan ulang relasi energi. Dan ini—suka atau tidak—adalah momentum yang tak akan datang dua kali.