Oleh: M.A. Rahman
Langkah pencopotan Mayjen Kunto Arief Wibowo dari jabatannya sebagai Pangkobgabwilhan I lalu kemudian dibatalkan kembali bukan sekadar isu rotasi biasa di tubuh TNI. Ini adalah momen politik yang membawa pesan besar: tentang siapa sebenarnya yang sedang memegang kendali kekuasaan di republik ini—apakah Prabowo Subianto sebagai Presiden yang sah, atau justru bayang-bayang kekuasaan dari Presiden sebelumnya, Joko Widodo?
Mari kita runut kejadiannya secara kronologis, agar benang merah ini menjadi terang:
1. Pencopotan Pertama di Ujung Kekuasaan Jokowi
Menjelang pelantikan Prabowo sebagai Presiden RI, Mayjen Kunto Arief Wibowo secara mengejutkan dicopot dari jabatannya oleh Presiden Jokowi. Tak banyak alasan rasional yang bisa menjelaskan pencopotan ini selain dugaan adanya manuver politik terselubung. Mengingat Kunto adalah perwira dengan karier bersih dan kuat secara kapasitas, pencopotan itu seperti “pembersihan halus” sebelum kekuasaan resmi berpindah tangan.
2. Prabowo Balas Langkah: Kunto Diangkat Kembali
Setelah dilantik, Prabowo mengembalikan Kunto ke panggung kekuasaan militer dengan posisi lebih tinggi: Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I. Langkah ini seperti penegasan dari Prabowo bahwa ia punya otoritas sendiri atas urusan TNI. Bukan hanya bentuk penghargaan terhadap kompetensi, tapi juga sinyal politik bahwa Prabowo tak akan mengikuti semua jejak Jokowi.
3. Pecah Isu: Tri Sutrisno Mendukung Pemakzulan Gibran
Di tengah ketegangan politik, isu lain meledak: mantan Wapres Tri Sutrisno dikabarkan mendukung wacana pemakzulan Gibran, putra Jokowi. Ini membuat suasana makin panas. Dukungan tokoh militer senior terhadap gerakan yang mengarah pada pembatasan kekuasaan politik dinasti Jokowi jelas memicu kegelisahan di pihak yang masih ingin mempertahankan pengaruh pasca-pemerintahan Jokowi.
4. Pencopotan Kedua oleh Panglima TNI
Tak lama berselang, Panglima TNI mencopot kembali Mayjen Kunto dari posisinya. Wajar jika publik curiga bahwa ini adalah “pesanan politik”—kemungkinan besar datang dari pihak yang merasa terganggu oleh posisi politik Tri Sutrisno dan jaringan militernya. Mengingat Panglima TNI saat ini adalah hasil penunjukan era Jokowi, wajar jika ada dugaan bahwa instruksi ini datang dari sang mantan presiden sendiri.
5. Tapi… Pencopotan Itu Dibatalkan
Inilah titik balik yang membuka mata banyak pihak: tak lama setelah pencopotan diumumkan, keluar surat resmi pembatalan pencopotan Mayjen Kunto. Siapa yang bisa memerintahkan Panglima TNI untuk membatalkan keputusan strategis semacam itu? Jawabannya hanya satu: Presiden aktif.
Artinya, Prabowo-lah yang memerintahkan Panglima TNI untuk menarik kembali keputusan tersebut. Ini bukan hanya soal mempertahankan Kunto, tapi juga sinyal kuat bahwa Prabowo tidak menerima upaya campur tangan kekuasaan dari masa lalu. Ia ingin menegaskan, ini era baru.
6. Jika Prabowo Diam, Maka Perintah Jokowi Masih Berlaku
Sebaliknya, bila Prabowo tidak mengambil sikap dan membiarkan pencopotan itu berjalan, maka akan lahir preseden bahwa instruksi mantan presiden masih punya daya paksa, bahkan terhadap institusi sekuat TNI. Hal itu juga akan memudahkan langkah berikutnya: tindakan hukum dari kepolisian terhadap para pihak atas pelaporan Jokowi, termasuk Dr. Rismon, Dr. Roy Suryo, dan Dr. Tifa dalam kasus dugaan ijazah palsu Jokowi.
Jika langkah Panglima dibiarkan, maka akan muncul persepsi bahwa Prabowo menyetujui tekanan terhadap mereka yang mengkritik Jokowi, dan Polri pun dengan mudah bisa melanjutkan proses hukum terhadap para pelapor tersebut sebagai bagian dari “balas jasa politik.”
7. Kesimpulan: Ini Ujian Kepemimpinan Nyata
Kisah pencopotan dan pembatalan Mayjen Kunto bukan soal jabatan militer semata. Ini adalah cerita tentang kekuasaan yang sedang diuji. Apakah Prabowo berani berdiri atas kakinya sendiri dan benar-benar menjadi Presiden dengan kuasa penuh, atau hanya melanjutkan sisa-sisa komando dari presiden sebelumnya?
Dengan membatalkan pencopotan itu, Prabowo sedang mengirim pesan: bahwa era intervensi politik lama telah selesai. Ia ingin menata ulang struktur kekuasaan yang bebas dari bayang-bayang dinasti atau pengaruh masa lalu.
Dan dari sinilah, sejarah akan mencatat, apakah Indonesia sedang melangkah ke arah yang lebih merdeka secara politik—atau hanya berganti wajah dengan logika kekuasaan lama yang masih bercokol di balik layar.