Ketika Kekuasaan Tak Lagi Sekadar Soal Jabatan, Tapi Siapa yang Dikendalikan dan Mengendalikan
Jakarta sedang resah. Bukan karena bencana, bukan pula karena inflasi. Tetapi karena sebuah tanya besar yang menggantung di langit kekuasaan Indonesia:
Apakah Indonesia benar-benar dipimpin oleh satu presiden… atau dua?
Satu duduk di kursi formal, satunya—meski sudah lengser—masih duduk dalam pikiran dan strategi elite kekuasaan. Narasi ini bukan dongeng, melainkan kenyataan yang perlahan menampakkan dirinya. Dan titik ledaknya adalah surat purnawirawan TNI kepada Presiden Prabowo Subianto.
Surat Terbuka, Pesan Tertutup
Isi suratnya mengejutkan. Penuh nada tegas. Para purnawirawan—yang banyak di antaranya merupakan senior Prabowo sendiri di militer—menuntut hal-hal yang secara langsung menghantam tiga simbol utama Jokowi:
-
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka
→ dianggap simbol dinasti politik Jokowi yang dipaksakan. -
Proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara
→ dinilai sebagai ambisi personal yang membebani anggaran dan minim legitimasi rakyat. -
Pemilu langsung
→ mereka ingin sistem dikembalikan ke pemilihan melalui MPR.
Bila ditelaah, ketiga tuntutan ini bukan sekadar teknis. Ini pesan keras:
“Kami ingin Presiden baru benar-benar menjadi Presiden yang baru, bukan perpanjangan dari pemerintahan sebelumnya.”
Bayangan Jokowi: Warisan atau Wewenang?
Setelah dua periode memimpin, pengaruh Jokowi masih kuat. Gibran duduk sebagai Wapres, loyalisnya tersebar di parlemen, BUMN, hingga lembaga hukum. Bahkan, sebagian pos kementerian strategis masih dipegang oleh “orang-orang Jokowi”.
Inilah yang memunculkan istilah:
“Shadow President” – Presiden Bayangan.
Publik lalu bertanya:
Apakah Prabowo memimpin sendiri, ataukah berbagi kuasa dengan ‘roh politik’ Jokowi yang belum mau pergi?
Pergeseran Oligarki dan Pecahnya Konsensus Elite
Koalisi Prabowo-Jokowi awalnya disebut sebagai langkah strategis demi “rekonsiliasi nasional”. Tapi kenyataannya, justru membuka medan tarik-menarik kepentingan.
🔸 Purnawirawan vs Politisi Sipil
🔸 Elite lama vs Elite baru
🔸 Pendekar meritokrasi vs penjaga status quo
Surat terbuka dari para purnawirawan adalah sinyal bahwa konsensus elite mulai pecah. Apalagi banyak di antara mereka menganggap Prabowo adalah “wakil nilai perjuangan 98” — bukan alat untuk melanjutkan Jokowisme.
Publik Jadi Penonton? Atau Justru Penentu?
Di tengah hiruk-pikuk elite, publik sering dikesampingkan. Padahal, kegaduhan politik ini berdampak langsung pada rakyat:
-
IKN: Dana triliunan untuk pindah ibu kota, saat rakyat masih susah akses pendidikan dan air bersih.
-
Gibran: Wajah muda yang dilihat tak melalui proses alami politik, menimbulkan krisis legitimasi.
-
Pemilu oleh MPR: Risiko demokrasi mundur ke era gelap orde lama.
Ketika para elite saling tikam, rakyat lagi-lagi hanya jadi korban atau penonton. Tapi… mungkinkah kali ini berbeda?
Kesimpulan: Politik Dua Kepala Tidak Akan Lama
Politik Indonesia sedang di titik krusial. Presiden formal, tapi kekuatan informal masih membayangi. Bila Prabowo ingin dicatat sebagai pemimpin sejati, ia harus memutus tali warisan Jokowi—atau minimal, meletakkannya di tempat yang proporsional.
Sebab sejarah tidak akan mengingat dua presiden dalam satu masa. Ia hanya akan mencatat satu yang memimpin… dan satu yang membayangi.