Pola komunikasi Istana berubah lebih cepat dan transparan. Tapi publik bertanya-tanya: benarkah ini wujud reformasi, atau hanya kosmetik demokrasi?
Jakarta, 5 Mei 2025 — Ada angin segar berembus dari Istana Presiden. Dalam beberapa bulan terakhir, gaya komunikasi pemerintah pusat terlihat berubah signifikan. Respon terhadap isu-isu publik kini lebih cepat, nada bicara lebih terbuka, dan juru bicara Istana makin rajin tampil di media. Banyak yang menyebut ini sebagai era baru komunikasi kekuasaan: lebih responsif, lebih manusiawi.
Namun di balik gaya baru itu, publik tetap kritis. Sebab transparansi sejati bukan hanya soal bicara manis di depan kamera—tapi juga soal keberanian membuka data, mengakui kesalahan, dan menjawab pertanyaan sulit tanpa skrip.
ISTANA MULAI “TURUN GUNUNG”?
Dalam kasus-kasus kontroversial seperti subsidi energi, pemindahan IKN, hingga kisruh netralitas ASN menjelang pilkada serentak, Istana kini tampak lebih sigap memberi penjelasan. Tak lagi bersembunyi di balik “no comment”, melainkan aktif mengklarifikasi dan memandu narasi publik.
“Kami sadar, di era digital ini, diam adalah bumerang,” ujar Ari Dwipayana, Koordinator Staf Khusus Presiden. “Kami ingin rakyat tahu: Istana mendengar, dan Istana menjawab.”
PUBLIK TAK LAGI MUDAH TERPESONA
Meski diapresiasi, banyak pihak menilai perubahan ini belum menyentuh substansi. “Transparansi bukan hanya soal komunikasi. Apakah rapat-rapat kabinet terbuka untuk pengawasan publik? Apakah hasil kajian kebijakan bisa diakses masyarakat?” tanya Damar Juniarto, pegiat kebebasan informasi.
Ia mengingatkan, era digital membuat pemerintah tak bisa hanya mengandalkan pencitraan. “Rakyat sekarang melek. Mereka tak puas hanya dengan kata-kata. Mereka menuntut bukti.”
KOMUNIKASI BUKAN SEGALANYA, TAPI…
Gaya komunikasi memang bukan segalanya, tapi ia menjadi cermin wajah kekuasaan. Bila Istana kini lebih terbuka, maka semestinya kebijakan pun ikut terbuka. Bila istana ingin dipercaya, maka warganya harus diberi ruang untuk mengkritik tanpa takut dibungkam.
Apakah gaya komunikasi baru Istana akan menjadi tonggak demokrasi yang lebih sehat? Atau justru sekadar ilusi relasi kuasa yang dibungkus dengan bahasa manis? Waktu yang akan menjawab. Tapi satu hal pasti: publik kini tak sekadar mendengar, mereka juga menilai.